Selasa, 18 Oktober 2011

Ombak dan Samudera (Bagian ke-4)



4. RESAH YANG MENYESAKKAN
Bandung
Sepanjang mengikuti perkuliah hari itu, pikiran Astuti tak sepenuhnya berada di ruang kuliah, meski Prof. Ahmad menyajikan materi dengan diselingi humor-humornya,  Astuti tidak dapat menikmatinya, sementara teman-temannya tergelak setiap Prof. Ahmad menyelingi dengan humor.
Pikiran Astuti melayang jauh ke pulau dewata, beberapa hari ini tidak ada kontak dengan Nyoman Bagus. Hampa rasanya. Dia tahu setiap akhir pekan  EO yang dikelola Nyoman Bagus banyak mendapat event dan lagi sebagai orang yang dituakan di keluarganya Nyoman bagus juga sibuk dengan kegiatan – kegiatan upacara adat. Dari senin hingga sabtu pagi terkadang dipenuhi dengan upacara adat keagamaan.
Tadi pagi Nyoman berjanji akan menelponnya saat istirahat. Astuti menelan rasa kecewanya ketika sampai perkuliahan hampir berakhir Nyoman bagus tidak juga menelponnya. Padahal kerinduannya sudah memuncak. Dadanya terasa sesak. Ada isak yang berusaha ditahannya. Matanya merebak mengaburkan pandangannya,  air mata kerinduan yang demikian dalam.
“ Kenapa  Ibu jadi lebih diam akhir-akhir ini. Ada yang kau pikirkan?” Mujiono menatapnya lembut. Astuti seperti terusik mendengar pertanyaan itu, tapi cepat ia tersenyum. “Nggak ada. Paling-paling soal Sekolah  dan kuliah. Ibu kan harus segera selesai, nggak mungkin berlama-lama. Target Ibu bisa lulus tahun depan Ibu ingin jadi yang pertama lulus di kelas MM”. Sahutnya segera.
“ Jaga kondisi, jangan mengetik sampai larut malam” Mujiono melanjutkan. Hati-hati, didekatinya sosok laki-laki yang amat dicintainya itu. Memeluknya perlahan dari belakang.. Mujiono membalikan badan merengkuh Astuti ke dalam pelukannya.
“Bli, kenapa ingatanku selalu padamu, meskipun saat ini aku sedang bersamanya” batinnya. “Apa yang tengah terjadi di dalam diriku, Bli”.  Astuti mempererat pelukan pada suaminya.   Astuti membenamkan wajahnya   lebih dalam.
***
“Bli berceritalah tentang hari raya Galungan, kata teman saya yang dari Bali, katanya saat hari raya Galungan adalah saatnya pamer kekayaan ya Bli?” tulis Astuti suatu kali.
“ Bukan begitu Cantik, Karena yang terpenting adalah maknanya.  Galungan bukan hanya perayaan dalam materi tapi perayaan dalam diri dan dalam hati. Galungan adalah perayaan kemenangan Dharma atas Adharma, kemenangan kebaikan atas kejahatan. Mungkin hampir sama dengan Iedul fitri dalam agama Islam, bukankah ketika Iedul fitri, kita merayakan kemenangan atas keberhasilan setelah selama sebulan menahan hawa nafsu?  Nah,  kalau Iedulfitri datangya setahun sekali, sedangkan Galungan kami merayakannya setiap enam bulan sekali. Ah rupanya Ombakku senang mempelajari adat dan kebudayaan rupanya ya, dan Ombakku memang cantiknya sampai ke hati” balas Nyoman Bagus.
Matur suksma (terima kasih), Bli, Samudraku.yang pantainya tersembunyi dalam hati, memang saya suka sekali mengetahui keragaman kekayaan budaya kita.” jawab Astuti
Matur suksma mewali (terima kasih juga)  ya,   pantai kita memang nggak boleh kelihatan  karena pantai kita memiliki ombak yang  bener-bener indah “ jawab Nyoman Bagus.
“Iya Samuderaku, saya juga merasakan keindahan yang sama. Keindahan  pantai di dalam hati, yang deburannya begitu lirih yang getarannya begitu lembut”.Balas Astuti.
“ Tapi  ombak tidak pernah bisa berlabuh di samudra,  selalu dipantai  yang lebih membutuhkanmu Ombakku sayang,  Samudra  akan selalu mengantarmu ke pantai   permai yang menunggu deburanmu”  Balas Nyoman Bagus
“ Ya Samudraku, aku harus kembali ke pantai permai, yang telah terhampar untukku meninggalkan samudra yang telah menggetarkan ombaknya, hingga gemuruhnya bergema di luasnya samudra, lirih menembus relung dan palung di pantai hati nan tersembunyi. Samudra yang hanya bisa mengantarmu ke pantai permai  tanpa pernah bisa merasakan deburanmu”  Setetes Embun hangat jatuh pelan-pelan. Menyusuri pipi Astuti. Semakin deras dan jatuh ke pangkuan. Hatinya meringis menahan perih yang tiba-tiba mengiris hatinya.
“Meski  samar, deburan itu telah kau rasakan samudra. hanya kearifanmu telah meredakan dan mengembalikannya ke pantai permai yang telah lama terhampar.
Kearifanmu  itulah kekuatanmu”. Tulis Astuti. Diusapnya matanya berkali-kali dan berkali-kali  pula memburam t
anpa sempat dicegah. Tanpa sempat dikekang. “Tahukah engkau Bli  resah ini teramat  menyesakkan. Sesak  yang meresahkan karena   pantai yang tersembunyi di dalam hati memaksa ingin memperlihatkan diri, ingin mengiringi tarian yang dibawakan ombaknya” bisiknya pedih
***
“Bli, kalo saya pelajari dari balasan-balasan email Bli, saya lihat koq kontradiktif sih  di email yang satu seolah Bli memang mendukung saya penuh untuk hanya jadi sahabat sejati saya, tapi di email yang lain, selain Bli mendukung saya untuk berusaha menjaga warna persahabatan kita. Tetap  jadi sahabat saya,  tetapi  juga tersirat keinginan Bli yang lain, maaf kalau salah ya  seakan Bli juga ingin jadi kekasih saya. Sebenarnya  yang ada dalam hati Bli konsentrasi hubungan kita lebih berat kemana?” Nyoman Bagus tercenung mendapat email dari Astuti pagi itu dihelanya nafasnya, terasa sangat berat menyesakkan dada. 
“Ya  memang kontradiktif sekali, karena sesungguhnya aku telah jatuh cinta padamu, bahkan sejak pertama melihatmu di jejaring sosial dulu. Hanya  karena penghormatan dan persahabatan yang ingin kujunjunglah maka aku tetap bertahan” Rintih batinnya. Dadanya  berdegup kencang, dengan tangan gemetar menahan gejolak yang kian mengharu biru, ditulisnya jawaban.
Dear Astuti Cantik.
Jujur saya akui  ada keinginan untuk menjadi kekasihmu  itu dari sanubari yang paling dalam   tapi  disisi lain  secara logika  saya juga sangat mendukungmu agar persahabatan ini tidak berubah warna .. karena saya nggak ingin cinta kalian yang selama ini telah terbina dengan sangat baik di keluargamu  menjadi berubah dengan hadirnya saya
Makanya kelihatan seperti kontrakdiktif  
Jujur  saya menginginkan hubungan ini lebih berat menjadi persahabatan sejati .. tapi saya juga nggak berani menjamin dan mengatakan kalau dalam perjalanannya tidak takan bisa berubah warna karena hari esok itu adalah misteri.

hugs & kisses
BE
”Ya Bli, dan misteri itu sekarang mulai menampakkan diri, pantai yang tersembunyi di dalam hati demikian kuat merangsek ingin memperlihatkan diri, meski kau selalu arif dalam bersikap, tapi di sini, dihati ini segalanya mulai berubah,  betapa sesaknya dada ini kala memendam kerinduan yang kian hari kian memuncak, betapa airmata ini  semakin rajin menemaniku kala sepi merayapi hati.” Rintih batin Astuti pilu.   Email Nyoman Bagus  menyadarkannya bahwa hatinya  saat ini ingin berada di dua tempat. Dan meski hatinya telah ia jaga dan ia tata dengan rapi hanya untuk  orang yang telah diniatkan  menjadi satu-satunya pendamping dalam meniti hidupnya selama ini, pertemanannya dengan Nyoman Bagus telah menjungkirbalikkan apa yang selama ini ia bangun dengan hati-hati dan susah payah. Mendadak muncul sayatan pedih lagi di hatinya. Berkali kali Astuti menghela nafas panjang, batinnya menjerit lirih
” Bli, ada apa dengan diriku ini? Aku tak lagi bisa menyebut namamu dengan rasa yang datar, seperti menyebut nama-nama temanku yang lain, ingatan akan dirimu hadirkan perih mengiris hati, adakah ini pertanda lukisan ini telah berubah warna? Bli bantu saya menetralkannya, saya tengah terperangkap rasa yang geloranya tak lagi terkendali, bantulah saya meredakannya” Astuti terhisak di tempat tidur.
Jam telah menunjukkan pukul 21.00. dari lantai dua rumahnya sayup- sayup terdengar celoteh anak-anaknya yang sedang menonton TV. Suaminya tengah pergi menghadiri rapat RW di lingkungannya.
Astuti mengunci diri di dalam kamar. Dadanya terasa sesak. Dia tak berdaya,  terperangkap rasa yang bergelora. Rasa  sayangnya terhadap sahabatnya lambat tapi pasti menunjukkan bentuknya yang lain, tak lagi sekedar persahabatan belaka, rasa ingin memiliki yang demikian kuat terbentur dengan kenyataan yang ada, membuatnya demikian nelangsa.
Sering Astuti terbangun dalam keadaan menangis dan mendapati dirinya dalam pelukan suaminya yang tengah mengelus lembut rambutnya dan mengecupnya penuh cinta
“Apa yang memberati hatimu sayang?” pertanyaan suaminya dijawabnya dengan menyusupkan kepalanya semakin dalam. Astuti tak ingin suaminya mengetahui apa yang  ada di hatinya, dia berharap agar tak ada nama yang  terucap diantara tangis dalam tidurnya. Sebuah nama yang tentu akan menyakiti hati suaminya.
Semakin dieratkannya pelukannya, semakin suaminya mencumbu semakin teriris hatinya, menyisakan kepedihan yang dalam yang timbul dari rasa bersalahnya. Dia membeku ditengah puncak gairah suaminya.
***
Saya ingin Bli tahu bahwa : Saya menyayangimu dengan tulus tanpa nafsu ragawi. Saya tidak mau kehilangan persahabatan, Saya tidak mau kehilangan Bli. Saya senang Bli memanggil saya "CANTIK" Saya senang jadi "GELOMBANG" untukmu. Dan saya senang memanggilmu "SAMUDRAKU". Saya juga ingin Bli menyayangi saya dengan tulus tanpa nafsu ragawi. Tulis Astuti suatu hari.
“Cantik, apapun yang cantik inginkan dari persahabatan ini saya akan lakukan, walau sebenarnya saya pun sebagai manusia bisa juga  merasakan nafsu dan juga rasa cinta yang dalam ingin memeluk dan bersamamu selalu. Namun  sayapun sadar  saya tidak boleh membuat jalan hidupmu ke depan menjadi kurang nyaman” balas Nyoman
Matur suksma Bli (terima kasih, Kak). Mari kita saling mengingatkan bila suatu saat kita terlupa menjaga warna persahabatan kita” jawab Astuti dengan jantung yang tiba-tiba berdegup kencang.
“ Ya Cantik, kalaupun akhirnya menjadi biru itu juga kehendak yang diatas koq kita terima aja  dengan ikhlas  dan jalani aja  hahahaha” canda Bagus
“Akh. Bli  ” tulisnya, dan pipi Astuti menghangat begitu membaca email balasan, kalau ada cermin di depannya pasti kentara sekali rona merah wajahnya, hatinya berdebar. “Justru itulah yang kini sedang ku jaga,  biru itu meski samar mulai Nampak, mulai berubah tak lagi sehijau di awal persahabatan kita” Rintih batin Astuti.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar