4. RESAH YANG MENYESAKKAN
Bandung
Sepanjang mengikuti perkuliah hari itu, pikiran
Astuti tak sepenuhnya berada di ruang kuliah, meski Prof. Ahmad menyajikan
materi dengan diselingi humor-humornya, Astuti
tidak dapat menikmatinya, sementara teman-temannya tergelak setiap Prof. Ahmad
menyelingi dengan humor.
Pikiran Astuti melayang jauh ke pulau dewata, beberapa hari ini
tidak ada kontak dengan Nyoman Bagus. Hampa rasanya. Dia tahu setiap akhir
pekan EO yang dikelola Nyoman Bagus
banyak mendapat event dan lagi sebagai orang yang dituakan
di keluarganya Nyoman bagus juga sibuk dengan kegiatan – kegiatan upacara adat.
Dari senin hingga sabtu pagi terkadang dipenuhi dengan upacara
adat keagamaan.
Tadi pagi Nyoman berjanji akan menelponnya saat istirahat. Astuti
menelan rasa kecewanya ketika sampai perkuliahan hampir berakhir Nyoman bagus
tidak juga menelponnya. Padahal kerinduannya sudah memuncak. Dadanya terasa
sesak. Ada isak yang berusaha ditahannya. Matanya merebak mengaburkan pandangannya,
air mata kerinduan yang demikian dalam.
“ Kenapa Ibu jadi lebih diam
akhir-akhir ini. Ada yang kau pikirkan?” Mujiono menatapnya lembut. Astuti
seperti terusik mendengar pertanyaan itu, tapi cepat ia tersenyum. “Nggak ada.
Paling-paling soal Sekolah dan kuliah. Ibu kan harus segera selesai,
nggak mungkin berlama-lama. Target Ibu bisa lulus tahun depan Ibu ingin jadi
yang pertama lulus di kelas MM”. Sahutnya segera.
“ Jaga kondisi, jangan mengetik sampai larut malam”
Mujiono melanjutkan. Hati-hati, didekatinya sosok laki-laki yang amat
dicintainya itu. Memeluknya perlahan dari belakang.. Mujiono membalikan badan merengkuh Astuti
ke dalam pelukannya.
“Bli, kenapa ingatanku selalu
padamu, meskipun saat ini aku sedang bersamanya” batinnya. “Apa yang tengah
terjadi di dalam diriku, Bli”. Astuti
mempererat pelukan pada suaminya. Astuti membenamkan wajahnya lebih dalam.
***
“Bli berceritalah tentang hari raya Galungan,
kata teman saya yang dari Bali, katanya saat hari raya Galungan adalah saatnya
pamer kekayaan ya Bli?” tulis Astuti suatu kali.
“ Bukan begitu Cantik, Karena yang terpenting adalah maknanya. Galungan bukan hanya perayaan dalam materi
tapi perayaan dalam diri dan dalam hati. Galungan adalah perayaan kemenangan
Dharma atas Adharma, kemenangan kebaikan atas kejahatan. Mungkin hampir sama dengan
Iedul fitri dalam agama Islam, bukankah ketika Iedul fitri, kita merayakan
kemenangan atas keberhasilan setelah selama sebulan menahan hawa nafsu? Nah, kalau Iedulfitri datangya setahun sekali,
sedangkan Galungan kami merayakannya setiap enam bulan sekali. Ah rupanya
Ombakku senang mempelajari adat dan kebudayaan rupanya ya, dan Ombakku memang
cantiknya sampai ke hati” balas Nyoman Bagus.
“Matur suksma (terima kasih), Bli,
Samudraku.yang pantainya tersembunyi dalam hati, memang saya suka sekali
mengetahui keragaman kekayaan budaya kita.” jawab Astuti
“Matur suksma mewali (terima kasih juga) ya, pantai kita memang nggak
boleh kelihatan karena
pantai kita memiliki
ombak yang bener-bener indah “ jawab Nyoman Bagus.
“Iya Samuderaku, saya
juga merasakan keindahan yang sama. Keindahan pantai
di dalam hati, yang deburannya begitu lirih yang getarannya begitu
lembut”.Balas Astuti.
“ Tapi ombak tidak pernah bisa berlabuh di samudra, selalu dipantai yang lebih membutuhkanmu Ombakku sayang, Samudra akan selalu mengantarmu ke pantai permai
yang menunggu deburanmu” Balas Nyoman
Bagus
“ Ya Samudraku, aku harus kembali ke pantai
permai, yang telah terhampar untukku meninggalkan samudra yang telah
menggetarkan ombaknya, hingga gemuruhnya bergema di luasnya samudra, lirih
menembus relung dan palung di pantai hati nan tersembunyi. Samudra yang hanya
bisa mengantarmu ke pantai permai tanpa
pernah bisa merasakan deburanmu” Setetes
Embun hangat jatuh pelan-pelan. Menyusuri
pipi Astuti. Semakin deras dan jatuh
ke pangkuan. Hatinya meringis menahan perih yang tiba-tiba mengiris hatinya.
“Meski samar, deburan itu telah kau rasakan samudra. hanya
kearifanmu telah meredakan dan mengembalikannya ke pantai permai yang telah
lama terhampar.
Kearifanmu itulah kekuatanmu”. Tulis Astuti. Diusapnya matanya berkali-kali dan berkali-kali pula memburam tanpa sempat dicegah. Tanpa sempat dikekang. “Tahukah engkau Bli resah ini teramat menyesakkan. Sesak yang meresahkan karena pantai yang tersembunyi di dalam hati memaksa ingin memperlihatkan diri, ingin mengiringi tarian yang dibawakan ombaknya” bisiknya pedih
Kearifanmu itulah kekuatanmu”. Tulis Astuti. Diusapnya matanya berkali-kali dan berkali-kali pula memburam tanpa sempat dicegah. Tanpa sempat dikekang. “Tahukah engkau Bli resah ini teramat menyesakkan. Sesak yang meresahkan karena pantai yang tersembunyi di dalam hati memaksa ingin memperlihatkan diri, ingin mengiringi tarian yang dibawakan ombaknya” bisiknya pedih
***
“Bli, kalo saya pelajari dari
balasan-balasan email Bli, saya lihat koq kontradiktif sih di email yang satu seolah Bli memang mendukung
saya penuh untuk hanya jadi sahabat sejati saya, tapi di email yang lain,
selain Bli mendukung saya untuk berusaha menjaga warna persahabatan kita.
Tetap jadi sahabat saya, tetapi juga tersirat keinginan Bli yang lain, maaf
kalau salah ya seakan Bli juga ingin
jadi kekasih saya. Sebenarnya yang ada
dalam hati Bli konsentrasi hubungan kita lebih berat kemana?” Nyoman
Bagus tercenung mendapat email dari Astuti pagi itu dihelanya nafasnya, terasa
sangat berat menyesakkan dada.
“Ya memang kontradiktif sekali, karena
sesungguhnya aku telah jatuh cinta padamu, bahkan sejak pertama melihatmu di
jejaring sosial dulu. Hanya karena
penghormatan dan persahabatan yang ingin kujunjunglah maka aku tetap bertahan” Rintih
batinnya. Dadanya berdegup kencang,
dengan tangan gemetar menahan gejolak yang kian mengharu biru, ditulisnya
jawaban.
Dear Astuti
Cantik.
Jujur saya akui
ada keinginan untuk menjadi kekasihmu itu dari sanubari yang paling dalam tapi disisi lain secara logika saya juga sangat mendukungmu agar persahabatan
ini tidak berubah warna .. karena saya nggak ingin cinta kalian yang selama ini
telah terbina dengan sangat baik di keluargamu menjadi berubah dengan hadirnya saya
Makanya
kelihatan seperti kontrakdiktif
Jujur saya menginginkan hubungan ini lebih berat
menjadi persahabatan sejati .. tapi saya juga nggak berani menjamin dan
mengatakan kalau dalam perjalanannya tidak takan bisa berubah warna karena hari
esok itu adalah misteri.
hugs &
kisses
BE
”Ya Bli, dan misteri itu sekarang mulai menampakkan diri, pantai yang
tersembunyi di dalam hati demikian kuat merangsek ingin memperlihatkan diri,
meski kau selalu arif dalam bersikap, tapi di sini, dihati ini segalanya mulai
berubah, betapa sesaknya dada ini kala memendam
kerinduan yang kian hari kian memuncak, betapa airmata ini semakin rajin menemaniku kala sepi merayapi
hati.” Rintih batin Astuti pilu. Email Nyoman Bagus menyadarkannya
bahwa hatinya saat ini ingin berada di dua tempat. Dan meski hatinya telah ia
jaga dan
ia tata dengan rapi
hanya untuk orang yang telah diniatkan menjadi satu-satunya pendamping dalam meniti
hidupnya selama ini,
pertemanannya dengan Nyoman Bagus telah menjungkirbalikkan apa yang selama ini ia bangun dengan hati-hati
dan susah payah. Mendadak
muncul sayatan pedih lagi di hatinya. Berkali
kali Astuti menghela nafas panjang, batinnya menjerit lirih
” Bli, ada apa dengan diriku ini? Aku tak lagi bisa menyebut namamu
dengan rasa yang datar, seperti menyebut nama-nama temanku yang lain, ingatan
akan dirimu hadirkan perih mengiris hati, adakah ini pertanda lukisan ini telah
berubah warna? Bli bantu saya menetralkannya, saya tengah terperangkap rasa
yang geloranya tak lagi terkendali, bantulah saya meredakannya” Astuti terhisak
di tempat tidur.
Jam telah menunjukkan pukul 21.00. dari lantai dua rumahnya sayup-
sayup terdengar celoteh anak-anaknya yang sedang menonton TV. Suaminya tengah
pergi menghadiri rapat
RW di lingkungannya.
Astuti mengunci diri di dalam kamar. Dadanya terasa sesak. Dia tak
berdaya, terperangkap rasa yang bergelora.
Rasa sayangnya terhadap sahabatnya
lambat tapi pasti menunjukkan bentuknya yang lain, tak lagi sekedar
persahabatan belaka, rasa ingin memiliki yang demikian kuat terbentur dengan
kenyataan yang ada, membuatnya demikian nelangsa.
Sering Astuti terbangun dalam keadaan menangis dan mendapati
dirinya dalam pelukan suaminya yang tengah mengelus lembut rambutnya dan
mengecupnya penuh cinta
“Apa yang memberati hatimu sayang?” pertanyaan suaminya dijawabnya
dengan menyusupkan kepalanya semakin dalam. Astuti tak ingin suaminya
mengetahui apa yang ada di hatinya, dia
berharap agar tak ada nama yang terucap
diantara tangis dalam tidurnya. Sebuah nama yang tentu akan menyakiti hati
suaminya.
Semakin dieratkannya pelukannya, semakin suaminya mencumbu semakin
teriris hatinya, menyisakan kepedihan yang dalam yang timbul dari rasa
bersalahnya. Dia membeku ditengah puncak gairah suaminya.
***
“Saya
ingin Bli tahu bahwa : Saya menyayangimu dengan tulus tanpa nafsu ragawi. Saya
tidak mau kehilangan persahabatan, Saya tidak mau kehilangan Bli. Saya senang
Bli memanggil saya "CANTIK" Saya senang jadi "GELOMBANG"
untukmu. Dan saya senang memanggilmu "SAMUDRAKU".
Saya juga ingin Bli menyayangi saya dengan tulus tanpa nafsu ragawi.” Tulis
Astuti suatu hari.
“Cantik, apapun yang cantik inginkan dari persahabatan ini saya akan lakukan, walau
sebenarnya saya pun sebagai manusia bisa juga merasakan nafsu dan juga rasa cinta yang dalam ingin
memeluk dan bersamamu selalu. Namun sayapun sadar saya tidak boleh membuat jalan hidupmu ke
depan menjadi kurang nyaman” balas Nyoman
”Matur suksma Bli (terima kasih, Kak). Mari kita saling mengingatkan bila suatu saat kita terlupa menjaga
warna persahabatan kita” jawab Astuti dengan jantung yang tiba-tiba berdegup
kencang.
“ Ya Cantik, kalaupun akhirnya menjadi biru
itu juga kehendak yang diatas koq kita terima aja dengan ikhlas dan jalani aja hahahaha” canda Bagus
“Akh. Bli ”
tulisnya, dan pipi Astuti menghangat begitu membaca email balasan, kalau ada
cermin di depannya pasti kentara sekali rona merah wajahnya, hatinya berdebar.
“Justru itulah yang kini sedang ku jaga, biru itu meski samar mulai Nampak, mulai
berubah tak lagi sehijau di awal persahabatan kita” Rintih
batin Astuti.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar